Pendahuluan
Perkawinan adalah lembaga dasar bagi pembentukan keluarga, yang menuntut tanggung jawab yang khidmat, mempertaruhkan kehormatan dan masa depan masing-masing pasangan dan juga keturunannya. Untuk itu diperlukan beberapa perencanaan dan pertimbangan, seperti genetika, kultural, social, dan perencanaan masa depan yang matang, termasuk perencanaan kehamilan.
Dengan perencanaan dan pertimbangan tersebut
dimaksudkan nantinya akan dapat mewujudkan keluarga yang sejahtera, sakinah,
dan berkualitas. Karena tujuan umum yang lebih adil dalam pembentukan keluarga
(perkawinan) adalah untuk mendapatkan keturunan lahir dan batin. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya semua pasangan suami isteri dapat mencapai
keturunan, tetapi tidak semua pasangan mempunyai potensi kesuburan yang sama,
ada yang subur (sangat subur) namun ada pula yang tidak (infertilitas).
Dengan
demikian dapat diartikan bahwa mempunyai keturunan merupakan harapan dalam
perkawinan, tapi tidak merupakan tujuan ekslusif, namun justru turut mendukung
adanya ketentraman dalam kehidupan keluarga. Hal ini juga berarti hubungan
sexual dalam perkawinan tidak mesti bertujuan dalam mendapatkan anak (hamil),
tapi merupakan naluri yang fitri (suci) bagi manusia.
Sehingga peristiwa kehamilan dalam sebuah
keluarga, mempunyai arti yang berbeda-beda. Peristiwa kehamilan yang
dikehendaki (direncanakan), akan bernilai sebagai harapan, kebahagiaan, sebagai
buah kasih saying suami istri, yang akan disambut dengan sepenuh hati sebagai
anugrah Tuhan Sang Pencipta. Tetapi kehamilan yang tidak dikehendaki, akan
dinilai sebagai suatu keresahan, dirasakan sebagai beban yang harus ditanggung
dengan cemas, bahkan ada yang memandangnya sebagai suatu malapetaka, meskipun
mungkin pandangannya berubah setelah anaknya lahir. Kehamilan yang tidak
dikehendaki sering mendorong anggota keluarga bertindak untuk berupaya mencegah
atau bahkan melenyapkanya (aborsi).
Kehamilan Bagi Keluarga
Keluarga adalah lingkungan paling tepat untuk tindakan seksual, hal ini dibenarkan oleh semua agama dan kebudayaan manusia. Hubungan tetap suami istri merupakan relasi pasti, mantap, dan diakui umum, dan oleh karena itu lingkungannya dapat menjamin, bahwa partner tidak dilecehkan sebagai obyek pemuasan seksual. Maka, kalau orang kedapatan hamil di luar perkawinan akan disyahkan dengan pernikahan-supaya anaknya akan lahir syah dalam keluarga yang resmi. Semua itu memperlihatkan bahwa reproduksi manusia bukan hanya sekedar suatu proses biologic untuk menggandakan (perkembangbiakan). Akan tetapi reproduksi (manusia) adalah suatu proses emosional dan social. Kehamilan (reproduksi) yang akan melahirkan manusia baru dalam keluarga, dapat diterima penuh perhatian dan kasih saying; maka perkawinan 'dimasyarakatkan", supaya kehamilan menjadi peristiwa komunikatif dan kelahiran menjadi peristiwa social, yakni penerimaan seorang anak, dengan wajah unik, dengan sejarah yang tidak dapat diramalkan.
Bagi sebuah keluarga, anak mempunyai
"niiai", yang merupakan perwujudan pandangan orang tua sebagai respon
emosional terhadap anak-anak yang dimilikinya. Nilai anak- bisa bersifat
negatif, bila dengan adanya anak akan merugikan keluarga. Sedangkan nilai
tersebut menjadi positif apabila memberikan manfaat dengan hadirnya anak dalam
keluarga. Nilai anak di Indonesia lebih banyak berkaitan dengan nilai-nilai
ekonomi dan cultural. Kebanyakan
keluarga menginginkan memiliki anak sebagai sumber
tenaga kerja yang produktif dan tempat bergantung di hari tua. Meskipun
demikian, jumlah anak yang diinginkan tidak terlalu besar sehingga tidak
menjadi beban ekonomi keluarga dan kesempatan berusaha. Dalam sebuah penelitian
di tegaskan bahwa lebih dari 75% keluarga yang menggunakan kontrasepsi pria
mengajukan alasan=banyak anak merepotkan dan memberatkan perekonomian keluarga.
Memelihara anak, memerlukan biaya sangat
besar, terutama berkaitan dengan sumber daya keluarga yang dapat diakomodasikan
untuk kesehatan, makanan dan pendidikan. Peningkatan biaya yang harus
dikeluarkan oleh keluarga, pada akhirnya akan menghadapkan pasangan suami istri
pada suatu pilihan tertentu berkaitan dengan anak-anak yang dimilikinya.
Pengaturan kehamilan dengan kontrasepsi yang
ditawarkan oleh program KB nasional menjadi solusi yang baik dan disambut oleh
para keluarga PUS. Sehingga kehamilan yang terjadi pada saat yang tidak
dikehendaki bisa dihindarkan (dicegah). Dan yang berkembang selanjutnya adalah
ide Norma Keluarga Kecil membudidaya pada masyarakat, hal ini tampak pada hasil
SDKI 1997, di mana jumlah rata-rata anak ideal bagi keluarga di DIY sebesar 2,4
anak.
Kehamilan Tidak Dikehendaki Dalam Realita
Dari hasil SDKI 1997, delapan dari sepuluh kelahiran (83%) memang diinginkan sesuai rencana ; 9% diharapkan tetapi pada waktu kemudian (ditunda), dan 8% tidak diinginkan sama sekali. Urutan kelahiran mempunyai hubungan erat dengan perencanaan kehamilan. Hampir semua kelahiran pertama diharapkan (95%), dan satu dari empat dari kelahiran ke empat dan seterusnya tidak dikehendaki (32,1%)
Pola
perencanaan kehamilan juga dipengaruhi oleh umur ibu saat melahirkan.
Prosentase kehamilan anak yang tidak dikehendaki meningkat sejalan dengan
meningkatnya umur ibu. Lebih dari 38% kehamilan pada ibu yang berumur
40-49tahun, sebenarnya tidak dikehendaki.
Terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki
dapat berakibat buruk terhadap janin, ibu, ataupun anak setelah lahir. Banyak
wanita (ibu) yang tidak menghendaki kehamilannya, berupaya menggugurkan
janinnya dengan meminum obat-obatan tertentu atau melakukan aborsi. Namun ada
yang menerimanya dengan pasrah dan menghendaki janinnya lahir walaupun di
warnai dengan rasa kekecewaan. Moralitas dan rasa keibuanya yang sering
mengusiknya untuk kemudian menerima kehamilan itu. Kehadiran anak dari
kehamilan tidak dikehendaki secara emosi (kejiwaan) mempunyai hubungan batin
yang kurang dekat dengan ibu atau ayah, hal ini menimbulkan kesenjangan dalam
memberi perhatian, kasih sayang, dukungan, bahkan penyediaan
fasilitas-fasilitas lahir/materil seperti pendidikan, kesehatan, pakaian, dll.
Dibandingkan dengan anaknya dari kehamilan yang memang dikehendaki.
Bahkan ada kasus, seorang ibu yang mempunyai
anak 2, berusia 18 dan 15tahun. Ketika dia hamil karena kegagalan kontrasepsi
(telat suntik); kedua anaknya marah besar, karena mereka merasa malu kepada
masyarakat, bahwa ibunya yang sudah cukup umur hamil lagi, dan dia yang sudah
remaja, kok akan mempunyai adik lagi. Maka mereka menyuruh ibunya menggugurkan
adiknya yang masih dalam kandungan sang ibu.
Kenyataan lain kita jumpai dalam masyarakat, bila
seorang wanita yang berusia 35 tahun ke atas hamil, dipandang aneh, dan wanita
itu merasa malu; hal ini dikarenakan terjadi pada wanita kita adalah mereka
telah menyerap dan menerima ide reproduksi sehat yaitu usia ideal melahirkan
bagi wanita adalah 20-35 tahun. Dan ketika ide ini telah membudaya, maka wanita
yang berusia di atas 35 tahun, mereka tidak menghendaki untuk hamil lagi.
Sedang bagi seorang ayah, kehamilan yang terjadi
pada pasangannya adalah berarti beban tanggung jawab bagi dirinya. Kehamilan
tidak dikehendaki bagi seorang pria/ayah, lebih di latar belakangi oleh nilai
ekonomi keluarga, yaitu kemampuan menanggung segala dukungan dan fasilitas yang
harus disediakan untuk sang anak setelah lahir. Maka tidak mengherankan jika
banyak bapak yang bingung mendengar berita dari istri tercinta bahwa dia
telat/tidak kedatangan "tamu bulanannya", sedang putranya sudah dua,
dan ekonomi keluarga cukupan/pas-pasan saja. Yang terjadi kemudian adalah
perdebatan keluarga antara menggugurkan kandungan atau membiarkannya lahir.
Secara emosional, sejak timbulnya rasa kecewa
(tidak suka) dari anggota keluarga terkadang berkembang menjadi keinginan untuk
meleyapkan kehamilan itu, sebetulnya telah tumbuh benih-benih kebencian /
keenggannan. Sehingga kalo toh, rasa dan keinginan itu tidak direalisasikan dan
janin dibiarkan lahir namun benih-benih ketidaksukaan sudah melekat; biasanya
sulit bagi keluarga untuk menerimanya dengan sepenuh hati terhadap kelahiran
anggota baru yang kurang dikehendaki tersebut.
Walaupun ada juga kehamilan tidak, tapi
setelah lahir menjadi anak yang membanggakan orang tua melebihi anak-anak yang
lahir dari kehamilan yang memang diharapkan. Namun hal ini belum merupakan
jaminan akan bisa meluruhkan rasa ketidaksukaan yang ada.
Fenomena Kehamilan Tidak
dikehendaki Dan aborsi
Kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi, merupakan dua hal yang erat kaitannya (terutama untuk aborsi yang sengaja dilakukan tanpa alasan medis). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan tahun 1997 di Jawa Barat, menunjukan bahwa aborsi (dari kehamilan tidak dikehendaki) mempunyai alasan-alasan.
* Karena malu, takut 15%
* Sudah memiliki anak, tidak ingin, hamil lagi 40%
* Belum ingin memiliki 5%
* Disuruh suami 5%
Sedang 35% adalah abortus spontaneons (25%) dan
abortus Provokattis Terapikus(10%). Lebih lanjut dikatakan bahwa alasan malu
terhadap keluarga dan masyarakat, dan takut terhadap sanksi social yang akan
mereka dapatkan karena hamil tanpa suami. Pelaku aborsi yang sudah memiliki
anak lagi, dikarenakan sebagai berikut:
1.
Kurang/tidak memiliki akses terhadap informasi dan
pelayanan K.B. Mereka tidak ingin menambah anak dan bercampur dengan rasa
enggan untuk hamil lagi, namun di sisi lain kurang didukung oleh akses dan
informasi Yang memadai tentang pencegahan kehamilan (karakteristik setiap metode
kontrasepsi secara lengkap, termasuk efek samping dan tingkat kagagalannya).
2.
Paserta KB
yang gagal, termasuk mereka yang berhenti menggunakan kontrasepsi karena adanya
keluhan-keluhan yang dirasakan.
Kesimpulan
Kehamilan tidak dikehendaki merupakan masalah pelik yang perlu ditanggapi secara menyeluruh, baik dalam intern keluarga maupun masyarakat dan pemerintah serta lembaga-lembaga masyarakat lainnya. Fungsi biologis perempuan yang dapat hamil dan melahirkan, harus didukung dengan berbagai hak reproduksi, termasuk hak untuk didengar dan diperhatikan, pendapatnya tentang: kapan seorang wanita ingin hamil dan kapan tidak.
Perhatian masyarakat pada tentunya dan keluarga
khususnya lebih tertuju pada bayi yang akan dilahirkan dan tidak kepada ibu
yang hamil dan melahirkan tersebut. Upaya wanita untuk mencegah kehamilan juga
kurang didukung oleh keluarga (suami) yang diindikasikan, rendahnya partisipasi
suami untuk mengontrol kehamilan.
Pelayanan informasi yang benar dan terbuka
tentang kesehatan reproduksi. dan pengaturan kehamilan serta pencegahnya;
merupakan kebutuhan keluarga dan masyarakat yang tidak dapat ditunda-tunda
lagi. Sehingga peristiwa kehamilan yang terjadi akan lebih merupakan harapan,
kebahagiaan, dan karunia Illahi baik oleh keluarga maupun masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar